PROPOSAL BERMAIN PADA ANAK

CONTOH PROPOSAL BERMAIN

ANTRAX

Apa itu Antrax ?

Penyakit antrax digolongkan penyakit hewan yang dapat menular pada manusia.

Penyebab Dan Penyebaran Anthrax

Anthrax disebabkan oleh bakteri yang dapat menyerang limpa.

Cara penyebaran Anthrax ke manusia dan hewan melalui 3 ( tiga )cara :

  1. Melalui mulut karena memakan daging dari penderita anthrax atau bahan makanan lainnya yang tercemar anthrax (sayuran, rumputan, minuman, dll).

  2. Melalui jalan pernapasan, terjadi di industri kerajinan dengan bahan dasar asal hewan misalnya wol, kulit, tulang dll yang mengandung spora.

  3. Melalui luka – luka dikulit, sering terjadi dipertanian/perternakan, karena luka dipotongan hewan. Binatang korban : sapi, kerbau, kuda, kambing, domba, babi dan bisa juga kucing, anjing, musang yang memakan daging asal korban anthrax.

Gejala Dan Tanda – tanda

Gejala dan tanda yang ditemukan bervariasi menurut organ yang terinfeksi basil yaitu :

  1. Anthrax kulit : bengkak kulit berisi cairan seperti jelly menjadi papule (dalam waktu 12 – 36 jam setelah terinfeksi) berkembang cepat menjadi vesikel yang kemudian bernanah yang akhirnya menjadi borok.

  2. Anthrax usus yang lewat makanan dan minuman yang tercemar spora. Basil menyebar ke dalam selaput usus dan masuk ke dalam sistem getah bening.

  3. Anthrax pernapasan melalui alat pernapasan karena bahan industri/kerajinan yang mengandung spora basil anthrax. Menyebabkan demam tinggi dan nyeri bagian dada, bila tidak segera ditanggulangi maka dapat menyebabkan perdarahan.

  4. Anthrax saraf melalui susunan saraf pusat yang sebelumnya telah mengalami septikemia/hipertoksik.

Pencegahan

Aspek Peraturan Dan Perundangan

  1. Hewan yang terinfeksi anthrax diasingkan/diisolasi.

  2. Hewan anthrax tidak boleh disembelih

  3. Hewan yang sakit tidak boleh meninggalkan halaman pengasingan, hewan lain tidak boleh keluar masuk.

  4. Dipasang papan nama dilokasi ada anthrax.

  5. Bangkai hewan mati anthrax harus dibakar atau dikubur dalam – dalam.

Aspek Kesehatan Masyarakat

Perlu diwaspadai :

    1. Kalau ada tawaran daging murah, jangan dibeli, mungkin sekali daging tersebut berasal dari tempat pemotongan gelap yang tidak terjamin.

    2. Daging hewan penderita anthrax berwarna merah tua agak berbau amis dan busuk, mengalir darah kental merah tua (seperti kecap) atau kehitaman yang sulit beku.

    3. Masyarakat agar membeli daging dari rumah pemotongan hewan yang mempunyai izin operasi dan ditandai dengan stempel/cap pada daging. Seyogyanya juga membeli daging dari pasar swalayan atau kios – kios daging yang memiliki izin, bersih dan hygiene.

    4. Cucilah sampai bersih (sayuran dan buah – buahan), bila meamasak daging masaklah sampai matang, supaya spora atau basilnya mati.

HEPATITIS

Hepatitis adalah Suatu peradangan pada hati yang terjadi karena toksin seperti; kimia atau obat atau agen penyakit infeksi (Asuhan keperawatan pada anak, 2002; 131)

Hepatitis adalah keadaan radang/cedera pada hati, sebagai reaksi terhadap virus, obat atau alkohol (Ptofisiologi untuk keperawatan, 2000;145)

ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Hepatitis A

Virus hepetitis A (HAV) terdiri dari RNA berbentuk bulat tidak berselubung berukuran 27 nm

Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawah oleh air dan makanan

Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari

Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.

Hepetitis B (HBV)

Ditularkan melalui jalur fekal – oral, sanitasi yang jelek, kontak antara manusia, dibawah oleh air dan makanan

Masa inkubasinya 15 – 49 hari dengan rata – rata 30 hari

Infeksi ini mudah terjadi didalam lingkungan dengan higiene dan sanitasi yang buruk dengan penduduk yang sangat padat.

Hepetitis B (HBV)

Virus hepatitis B (HBV) merupakan virus yang bercangkang ganda yang memiliki ukuran 42 nm

Ditularkan melalui parenteral atau lewat dengan karier atau penderita infeksi akut, kontak seksual dan fekal-oral. Penularan perinatal dari ibu kepada bayinya.

Masa inkubasi 26 – 160 hari dengan rata- rata 70 – 80 hari.

Faktor resiko bagi para dokter bedah, pekerja laboratorium, dokter gigi, perawat dan terapis respiratorik, staf dan pasien dalam unit hemodialisis serta onkologi laki-laki biseksual serta homoseksual yang aktif dalam hubungan seksual dan para pemaki obat-obat IV juga beresiko.

Hepatitis C (HCV)

Virus hepatitis C (HCV) merupakan virus RNA kecil, terbungkus lemak yang diameternya 30 – 60 nm.

Ditularkan melalui jalur parenteral dan kemungkinan juga disebabkan juga oleh kontak seksual.

Masa inkubasi virus ini 15 – 60 hari dengan rata – 50 hari

Faktor resiko hampir sama dengan hepetitis B

Hepatitis D (HDV)

Virus hepatitis B (HDP) merupakan virus RNA berukuran 35 nm

Penularannya terutama melalui serum dan menyerang orang yang memiliki kebiasaan memakai obat terlarang dan penderita hemovilia

Masa inkubasi dari virus ini 21 – 140 hari dengan rata – rata 35 hari

Faktor resiko hepatitis D hampir sama dengan hepatitis B.

Hepattitis E (HEV)

Virus hepatitis E (HEV) merupakan virus RNA kecil yang diameternya + 32 – 36 nm.

Penularan virus ini melalui jalur fekal-oral, kontak antara manusia dimungkinkan meskipun resikonya rendah.

Masa inkubasi 15 – 65 hari dengan rata – rata 42 hari.

Faktor resiko perjalanan kenegara dengan insiden tinggi hepatitis E dan makan makanan, minum minuman yang terkontaminasi.

INSIDEN

Hepetitis A

Penyakit endemik dibeberapa bagian dunia, khususnya area dengan sanitasi yang buruk. Walaupun epidemik juga terjadi pada negara – negara dengan sanitasi baik.

Hepatitis B

Ditemukan dibeberapa negara insidennya akan meningkat pada area dengan populasi padat dengan tingkat kesehatan yang buruk.

Hepatitis C

90 % kasus terjadi akibat post transpusi dan banyak kasus sporadik, 4 % kasus hepatitis disebabkan oleh hepatitis virus dan 50 % terjadi akibat penggunaan obat secara intra vena

Hepatitis D

Selalu ditemukan dengan hepatitis B, delta agent adalah indemik pada beberapa area seperti negara mediterania, dimana lebih dari 80 % karier hepatitis B dapat menyebabkan infeksi

Hepatitis E

Adalah RNA virus yang berbeda dari hepatitis A dan eterovirus biasanya terjadi di India, Birma, Afganistan, Alberia, dan Meksiko.

PATOFISIOLOGI

Virus hepatitis yang menyerang hati menyebabkan peradangan dan infiltrat pada hepatocytes oleh sel mononukleous. Proses ini menyebabkan degrenerasi dan nekrosis sel perenchyn hati.

Respon peradangan menyebabkan pembekakan dalam memblokir sistem drainage hati, sehingga terjadi destruksi pada sel hati. Keadaan ini menjadi statis empedu (biliary) dan empedu tidak dapat diekresikan kedalam kantong empedu bahkan kedalam usus, sehingga meningkat dalam darah sebagai hiperbilirubinemia, dalam urine sebagai urobilinogen dan kulit hapatoceluler jaundice.

Hepatitis terjadi dari yang asimptomatik samapi dengan timbunya sakit dengan gejala ringan. Sel hati mengalami regenerasi secara komplit dalam 2 sampai 3 bulan lebih gawat bila dengan nekrosis hati dan bahkan kematian. Hepattis dengan sub akut dan kronik dapat permanen dan terjadinya gangguan pada fungsi hati. Individu yang dengan kronik akan sebagai karier penyakit dan resiko berkembang biak menjadi penyakit kronik hati atau kanker hati

MANIFESTASI KLINIK

Menifestasi klinik dari semua jenis hepatitis virus secara umum sama. Manifestasi klinik dapat dibedakan berdasarkan stadium. Adapun manifestasi dari masing – amsing stadium adalah sebagai berikut.

Stadium praicterik berlangsung selama 4 – 7 hari. Pasien mengeluh sakit kepala, lemah, anoreksia, muntah, demam, nyeri pada otot dan nyeri diperut kanan atas urin menjadi lebih coklat.

Stadium icterik berlangsung selama 3 – 6 minggu. Icterus mula –mula terlihat pada sklera, kemudian pada kulit seluruh tubuh. Keluhan – keluhan berkurang, tetapi klien masih lemah, anoreksia dan muntah. Tinja mungkin berwarna kelabu atau kuning muda. Hati membesar dan nyeri tekan.

Stadium pascaikterik (rekonvalesensi). Ikterus mereda, warna urin dan tinja menjadi normal lagi. Penyebuhan pada anak – anak menjadi lebih cepat pada orang dewasa, yaitu pada akhir bulan ke 2, karena penyebab yang biasanya berbeda

TES DIAGNOSTIK

ASR (SGOT) / ALT (SGPT)

Awalnya meningkat. Dapat meningkat 1-2 minggu sebelum ikterik kemudian tampak menurun. SGOT/SGPT merupakan enzim – enzim intra seluler yang terutama berada dijantung, hati dan jaringan skelet, terlepas dari jaringan yang rusak, meningkat pada kerusakan sel hati

Darah Lengkap (DL)

SDM menurun sehubungan dengan penurunan hidup SDM (gangguan enzim hati) atau mengakibatkan perdarahan.

Leukopenia

Trombositopenia mungkin ada (splenomegali)

Diferensia Darah Lengkap

Leukositosis, monositosis, limfosit, atipikal dan sel plasma.

Alkali phosfatase

Agaknya meningkat (kecuali ada kolestasis berat)

Feses

Warna tanah liat, steatorea (penurunan fungsi hati)

Albumin Serum

Menurn, hal ini disebabkan karena sebagian besar protein serum disintesis oleh hati dan karena itu kadarnya menurun pada berbagai gangguan hati.

Gula Darah

Hiperglikemia transien / hipeglikemia (gangguan fungsi hati).

Anti HAVIgM

Positif pada tipe A

HbsAG

Dapat positif (tipe B) atau negatif (tipe A)

Masa Protrombin

Mungkin memanjang (disfungsi hati), akibat kerusakan sel hati atau berkurang. Meningkat absorbsi vitamin K yang penting untuk sintesis protombin.

Bilirubin serum

Diatas 2,5 mg/100 ml (bila diatas 200 mg/ml, prognosis buruk, mungkin berhubungan dengan peningkatan nekrosis seluler)

Tes Eksresi BSP (Bromsulfoptalein)

Kadar darah meningkat.

BPS dibersihkan dari darah, disimpan dan dikonyugasi dan diekskresi. Adanya gangguan dalam satu proses ini menyebabkan kenaikan retensi BSP.

Biopsi Hati

Menujukkan diagnosis dan luas nekrosis

Skan Hati

Membantu dalam perkiraan beratnya kerusakan parenkin hati.

Urinalisa

Peningkatan kadar bilirubin.

Gangguan eksresi bilirubin mengakibatkan hiperbilirubinemia terkonyugasi. Karena bilirubin terkonyugasi larut dalam air, ia dsekresi dalam urin menimbulkan bilirubinuria.

PENATALAKSANAAN MEDIK

Tidak ada terpi sfesifik untuk hepatitis virus. Tirah baring selama fase akut dengan diet yang cukup bergizi merupakan anjuran yang lazim. Pemberian makanan intravena mungkin perlu selama fase akut bila pasienterus menerus muntah. Aktivitas fisik biasanya perlu dibatasi hingga gejala-gejala mereda dan tes fungsi hati kembali normal.

DIARE

1.Pengertian
Diare adalah keluarnya tinja berbentuk cair sebanyak tiga kai atau lebih dalam dua puluh jam pertama dengan temperatur rectal di atas 38 0C, kolik dan muntah (Soegerng Soegijanto ; 2002).
Diare adalah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali, pada bayi dan lebih dari 3 kali pada anak, konsistensi faeces encer, dapat berwarna hijau atau dapat pula bercampur lendir dan darah atau lendir saja (Ngastiyah, 1999).
Diare adalah kondisi terjadi frekuensi defekasi abnormal (lebih dari 3 x / hari)serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 gr / hari) dan konsistensi faeces cair (Brunner & Suddarth, 2002).
Setelah menyimak pengertian di atas maka penulis mengembil kesimpulan “Diare adalah keluarnya tinja berbentuk encer – cair lebih dari 3 kali dalam dua puluh jam pertama dengan atau tanpa lendir dan darah di dalam faeces disertai kolik dan muntah”.
2.Anatomi fisiologi
Saluran gastrointestinal yang berjalan dari mulut melalui esophagus lambung dan usus sampai anus. Esophagus terletak di dimediastinum rongga torakat, anterior terhadap tulang punggung dan posterior terhadap trakea dan jantung. Selang yang dapat mengempis ini, yang panjangnya kira-kira 25 cm (10 inchi) menjadi sistensi bila makanan melewatinya.
Bagian sisa dari saluran gastrointestinal terletak di dalam rongga peritoneal. Lambung di tempatkan dibagian atas abdomen sebelah kiri dari garis tengah tubuh, tepat di bawah diafragma kiri. Lambung adalah suatu kantung yang dapat berdistensi dengan kapasitas kira-kira  1500 ml. Lambung dapat dibagi ke dalam empat bagian anatomis, kardia, fundus, korpus dan pylorus.
Usus halus adalah segmen paling panjang dari saluran gastrointestinal, yang jumlah panjangnya kira-kira dua pertiga dari panjang total saluran. Untuk sekresi dan absorbsi, usus halus di bagi dalan 3 bagian yaitu bagian atas disebut duodenum, bagian tengah disebut yeyunum, bagian bawah disebut ileum. Pertemuan antara usus halus dan usus besar terletak di bagian bawah kanan duodenum. Ini disebut sekum pada pertemuan ini yaitu katup ileosekal. Yang berfungsi untuk mengontrol isi usus ke dalam usus besar, dan mencegah refluks bakteri ke dalam usus halus. Pada tempat ini terdapat apendiks veriformis. Usus besar terdiri dari segmen asenden pada sisi kanan abdomen, segmen transversum yang memanjang dari abdomen atas kanan ke kiri dan segmen desenden pada sisi kiri abdomen. Yang mana fungsinya mengabsorbsi air dan elektrolit yang sudah hampir lengkap pada kolon. Bagian ujung dari usus besar terdiri darii dua bgian. Kolon sigmoid dan rectum kolon sigmoid berfungsi menampung massa faeces yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kolon mengabsorbsi sekitar 600 ml air perhari sedangkan usus halus mengabsorbsi sekitar 8000 ml kapasitas absorbsi usus besar adalah 2000 ml perhari. Bila jumlah ini di lampaui, misalnya adalah karena kiriman yang berlebihan dari ileum maka akan terjadi diare.
Rectum berlanjut pada anus, jalan keluar akan diatur oleh jaringan otot lurit yang membentuk baik sfingter internal dan eksternal.
Gambar : anatomi system saluran pencernaan

3.Etiologi
Penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor :
a.Faktor infeksi
1)Infeksi internal : infeksi saluran pencernaan makanan yang merupakan penyebab utama diare pada anak meliputi infeksi enternal sebagai berikut :
Infeksi bakteri : Vibron, E. Coli, Salmonella, Shigella, Campylobactu, Yersinia, Aeromonas.
Infeksi virus : Entero virus, Adenovirus, Rotavirus, Astrovirus.
Infeksi parasit : Cacing (Ascaris, Trichuris, Oxyuris), protozoa (Entamoeba, Histolytica, Trichomonas homonis), jamur (Candida Albicans).
2)Infeksi parenteral ialah infeksi di luar saluran pencernaan seperti : Otitis Media Akut (OMA), tonsillitis / tonsilofaringitis, bronchopaemonia, ensefalitis, keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berunur di bawah 2 tahun.
b.Faktor malabsorbsi
1)Malabsorbsi karbohidrat
2)Malabsorbsi lemak
3)Malabsorbsi protein
c.Faktor makanan makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan
d.Faktor psikkologis : rasa takut dan cemas
4.Insiden
Pada 25 tahun yang lalu sebagian besar belum diketahui, akan tetapi kini telah lebih dari 80 % penyebaran sudah diketahui. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada bayi dan anak. Penyebab itu dapat digolongkan lagi ke dalam penyakit yang di timbulkan adanya virus, bakteri, dan parasit usus. Penyebab utama oleh virus yang terutama ialah Rotavirus (40 – 60 %) sedangkan virus lainnya virus Norwatik, Astrovirus, Calcivirus, dan virus bulat kecil.
Di seluruh pelosok dunia disebutkan bahwa Rotavirus menyebabkan lebih dari 125 juta episode diare dan menjadi sebab hampir 1 juta kematian setiap tahun pada bayi dan anak-anak.
5.Patofisiologi
Menurut patofisiologinya diare dibedakan atas :
a.Diare sekresi
Biasanya diare dan volume banyak disebabkan oleh peningkatan produksi dan sekresi air serta elektrolit oleh mukosa usus ke dalam lumen usus.
b.Diare osmotik
Terjadi bila air terdorong ke dalam usus oleh tekanan osmotik dari partikel yang tidak dapat diabsorbsi, sehingga reabsorbsi air menjadi lambat.

c.Diare campuran
Disebabkan oleh peningkatan kerja peristaktik dari usus dan kombinasi peningkatan sekresi atau penurunan absorbsi dalam usus.
6.Manifestasi klinis
Frekuensi defekasi meningkat bersama dengan meningkatnya kandungan cairan dalam faeces, pasien mengeluh keram perut, distensi, gerumuh usus (borborigimus), anoreksia dan haus. Mula-mula pasien cengeng, galisah, suhu tubuh biasanya meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada kemusian timbul diare. Tinja cair mungkin disertai lendir dan darah. Anus dan daerah sekitarnya timbul lecet karena seringnya defekasi.
Gejala yang berkiatan langsung dalam diare dintaranya adalah dehidrasi dan kelemahan.
Gejala muntah dapat timbul sebelum atau sesudah diare. Adapun derajat dehidrasi yaitu :
a.Dehidrasi ringan : BB turun < dari 5 % (rata-rata 4 %)
b.Dehidrasi sedang : BB turun 5 – 10 % (rata-rata 8 %)
c.Dehidrasi berat : BB turun 7 – 10 % (rata-rata 11 %)
Kriteria penentuan derajat dehidrasi menurun Haroen Noerasid (modifikasi)
a.Dehidrasi ringan : rasa haus, oliguri ringan
b.Dehidrasi sedang : rasa haus, oliguri ringan dan keadaan jaringan seperti : turgor kulit turun, ubun-ubun besar, mata cekung.
c.Dehidrasi berat : rasa haus, oliguri ringan, dan keadaan jaringan seperti : torgor kulit turun, ubun-ubun besar cekung, mata cekung, tanda-tanda vital, susunan saraf pusat, somolen, spoor, koma, pulmokardiovaskuler, kussmaul, renjatan.
7.Test diagnostik
Apabila penyebab diare tidak terbukti maka tes diagnnostik berikut harus dilakukan :
a.Hitung darah lengkap
b.Sifat kimia
c.Urinalisis
d.Pemeriksaan faeces rutin serta pemeriksaan faeces untuk organisme infeksius atau parasit
e.Prostosigmoidoskopi
f.Enema kimia
8.Penatalaksanaan medik
Dasar pengobatan diare adalah
a.Pemberian cairan : jenis cairan, cairan peroral, cairan perenteral
1)Cairan peroral
Pada pasien dengan dehidrasi ringan dan sedang cairan diberikan peroral berupa cairan yang berisikan NaCl, KCl dan glokusa.

2)Cairan
Jenis caiaran yang dipergunakan sesuai dengan kebutuhan pasien tetapi semuanya itu tergantung tersedianya cairan setempat pada umumnya cairan Ringer Laktat (RL).
b.Pemberian makanan (dietetik)
Untuk anak di bawah 1 tahun dan anak di atas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg jenis makanan :
1)Susu (ASI atau susu formula) yang mengandung laktosa rendah misalnya LLM.
2)Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim).
c.Obat-obatan
1)Obat anti sekresi :
a)Aseptor dosis 25 mg / tahun dengan dosis minimum 30 mg
b)Klorpromazin dosis 0,5 – 1 mg / kg / BB / hari.
2)Obat antibiotik diberikan bila perlu saja dan sudah ada penyakit yang jelas.

B.Konsep Asuhan Keperawatan
Asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan untuk meningkatkan, mencegah dan memulihkan kesehatan melalui empat tahap proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian, perencanaan, pelaksanaan, evaluasi yang masing-masing berkesinambungan serta memerlukan kecakapan, keterampilan profesional tenaga keperawatan (Doenges, Marilynn E ; 2000)

1.Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan merupakan dasar proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari empat tahapan yaitu : pengumpulan data, klasifikasi data, analisa data, rumusan diagnosa keperawatan.
a.Pengumpulan data
1)Biodata
Terdiri dari identitas klien meliputi nama panggilan, umur, jenis kelamin, alamat, dan identitas orang tua yaitu nama bapak, pendidikan, pekerjaan, pendapatan, umur, agama, alamat, nama ibu, pendidikan, pekerjaan, umur, agama, dan alamat.
2)Riwayat kesehatan sekarang
a)Keluhan utama : berak-berak encer lebih dari biasanya
b)Riwayat jkeluhan utama :
Klien dengan diare sedang, biasanya datang berobat dengan riwayat BAB dan lendir atau tidak, tidak mau makan.
3)Riwayat kehamilan dan perasalinan meliputi prenatal, natal dan post natal serta riwayat kesehatan keluarga.
4)Riwayat tumbuh kembang
Terdiri dari berat badan lahir, panjang badan lahir, lingkar kepala, lingkar dada, lingkar lengan atas, pertumbuhan gigi, usia mulai tumbuh gigi, perkembangan anak (miring tengkurap, duduk, merangkak, berjalan dan berlari)
5)riwayat kesehatan masa lalu meliputi : riwayat penyakit yang pernah diderita, pernah opname / tidak, nutrisi, imunisasi dan riwayat elergi.
6)Pemeriksaan fisik.
Meliputi keadaan umum, TTV, TB, lingkar kepala, lingkar lengan atas, lingkar dada, lingkar perut.
a)Inspeksi : mulai kepala sampai ujung kaki
b)Palpasi : Anak yang dihidrasi akan menujukkan tigor kulit jelek nadi cepat.
c)Perkusi : Anak dehidrasi akan menunjukkan hipertimpani pada perut akibat kembung.
d)Auskultasi : akan menunjukkan bising usus meningkat.
7)Pemeriksaan penunjang
a)Pemeriksaan labolatorium : pemeriksaan darah lengkap
b)Pemeriksaan rontgen : prostosigmoidoskopi
8)Kesehatan sosial
9)Pola emosi orang tua
10)Istirahat tidur
11)Higiene
12)Gizi
13)Eliminasi
14)Kegiatan keagamaan
15)Pengobatan dan perawatan
b.Klasifikasi data
Setelah data dikumpulkan, langkah selanjutnya adalah pengklasifikasian data yang didapatkan ke dalam data subjektif dan data objektif.
c.Analisa data
Dengan melihat data subjektif dan data objektif dapat menentukan permasalahan yang dihadapi oleh klien dan dengan memperhatikan patofiologi mengenai penyebab dari penyakit diare sampai permasalahnya tersebut.
2.Diagnosa keperawatan
Adapun kemungkinan diagnosa keperawatan pada penderita diare adalah :
a.Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui faeces atau emesis.
b.Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan kehilangan cairan diare, masukan yang tidak adekuat.
c.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus gastrointestinal (GI).
d.Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare.
e.Kecemasan berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal prosedur yang menimbulkan stress.
f.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang pengetahuan.
3.Rencana keperawatan
Adapun rencana keperawatan berdasarkan diagnosa keperawatan adalah sebagai berikut :
a.Kurang volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan berlebihan melalui faeces atau emesis.
Tujuan : pasien menunjukkan tanda-tanda dehidrasi adekuat.
Intervensi :
1)Beri larutan rehidrasi oral (LRO). Rasional : untuk rehidrasi dan penggantian kehilangan cairan melalui feses.
2)Berikan dan pantau cairan iv sesuai ketentuan.
3)Berikan agens antimikroba sesuai ketentuan. Rasional : untuk mengobati patogen khusus yang menyebabkan kehilangan cairan yang berlebihan.
4)Setelah rehidrasi, berikat diet regular pada anak sesuai toleransi. Rasinaol : penelitian menunjukkan pemberian ulang diet normal secara dini bersifat menguntungkan untuk menurunkan jumlah defekasi dan penurunan berat badan.
5)Ganti LRO dengan cairan rendah natrium seperti air, ASI, formula bebas laktosa. Rasional : untuk mempertahankan terapi cairan.
6)Pantau berat jenis urine setiap 8 jam atau sesuai indikasi. Rasional : untuk mengkaji hidrasi.
7)Timbang berat badan anak. Rasional : untuk mengkaji dehidrasi klien.
8)Kaji tanda-tanda vital, turgor kulit, membran mukosa dan status mental setiap 4 jam. Rasional : untuk mengkaji hidrasi.
9)Hindari masukan cairan jenis seperti jus buah, minuman berkarbonat, dan gelatin. Rasional : cairan ini biasanya tinggi karbohidrat, rendah elektrolit dan mempunyai osmolalitas tinggi.
b.Perubahan nutiris kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan melalui diare, masukan yang tidak adekuat.
Tujuan : pasien mengkonsumsi nutrisi yang adekuat untuk mempertahankan berat badan yang sesuai dengan usia.
Intervansi :
1)Setelah rehidrasi, instruksikan ibu menyusui untukj melanjutkan pemberian ASI. Rasional : hal ini cenderung mengurangi kehebatan dan durasi penyakit.
2)Hindari pemberian diet dengan pisang, beras, apel, dan roti panggang. Rasional : diet ini rendah dalam energi dan protein, terlalu tinggi dalam karbohidrat, dan rendah elekktrolit.
3)Observasi dan catat respon terhadap pemberian makanan. Rasional : untuk mengkaji tolerannsi pemeberian makan.
4)Instruksikan keluarga dalam memberikan diet yang tepat. Rasional : untuk meningkatkan kepatuhan terhadap program terapeutik.
c.Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan mikroorganisme yang menembus saluran gastrointestinal (GI)
Tujuan : pasien (orang lain) tidak menunjukkan tanda infeksi gastrtointestinal.
Intervensi :
1)Pertahankan pencucian tangan yang benar. Rasional : untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi
2)Pakaikan popok dengan tepat. Rasional : untuk mengurangi kemungkinan penyebaran faeces.
3)Gunakan popok sekali pakai. Rasional : super absorbent untuk menumpung faeces dan menurunkan kemungkinan terjadinya dermatitis.
4)Upayakan untuk mempertahankan bayi dan anak kecil dari menempatkan tangan dan objek dalam area terkontaminasi. Rasional : mencegah penyebaran mikroorganisme ke tempat lain.
5)Ajarkan teknik, bila mungkin, tindakan perlindungan. Rasional : untuk mencegah penyebaran infeksi seperti pencucian tangan setelah penyebaran infeksi.
6)Instruksikan anggota keluarga dan pengunjung dalam praktek isolasi, khususnya mencuci tangan. Rasional : untuk mengurangi resiko penyebaran infeksi.
d.Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan iritasi karena diare.
Tujuan : anak tidak mengalami tanda-tanda kerusakan kulit.
Intervensi :
1)Ganti popok dengan sering. Rasional : untuk menjaga agar kulit tetap bersih dan kering.
2)Bersihkan bokong perlahan-lahan dengan sabun lunak, non alkalin. Rasional : faeces diare sangat mengiritasi.
3)Beri salep seperti seng oksida. Rasional : untuk melindungi kulit dari iritasi.
4)Pajankan dengan ringan kulit utuh yang kemerahan pada udara jika mungkin. Rasional : untuk meningkatkan penyembuhan.
5)Hindari penggunaan tissu basah yang dijual bebas yang mengandung alcohol pada kulit yang terekskoriasi. Rasional : akan menyebabkan rasa menyengat.
6)Obsevasi bokong dan perineum akan adanya infeksi, seperti kanndida. Rasional : sehingga terapi yang teapt dapat di mulai.
e.Kecemasan berhubungan denan perpisahan dengan orang tua, lingkungan tidak dikenal, prosedur yang menimbulkan stress.
Tujuan : anak menunjukkan ddistress fisik atau emosional yang minimal dan keluarga berpartisipasi dalam perawatan anak sebanyak mungkin.
Intervensi :
1)Dorong kunjungan dan partisipasi keluarga dalam perawatan. Rasional : untuk mencegah stress yang behubungan dengan perpisahan.
2)Sentuh, gendong, bicara pada anak sebanyak mungkin..
3)Beri stimulus sensori dan pengalihan yang sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan kondisinya. Rasional : untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
f.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan krisis situasi, kurang pengetahuan.
Tujuan : keluarga memahami tentang penyakit anak dan pengobatannya mampu memberikan perawatan.
Intervensi :
1)Berikan informasi pada keluarga tenatng penyakit dan tindakan terapeutik. Rasional : untuk mendorong terhadap program terapeutik.
2)Bantu keluarga dalam memberikan rasa nyaman, dukungan pada anak. Rasional : untuk memberikan perasaan nyaman pada keluarga dan anak.
3)Izinkan anggota keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan anak. Rasional : untuk memenuhi kebutuhan anak.
4)Instruksikan keluarga mengenal pencegahan. Rasional : mencegah penyebaran infeksi.
5)Atur perawatan kesehatan pasca hospiitalisasi. Rasional : untuk persiapan keluarga / klien pulang.
6)Rujuk keluarga pada lembaga perawatan komunitas. Rasional : untuk pengawasan perawatan sesuai kebutuhan.
4.Impelmentasi
Pelaksanaan perawatan adalah pengelolaan dan perwujudan dari rencana keperawatan untuk memperoleh pelaksanaan yang efektif, dituntut pengetahuan, keterampilan dan kemampuan berhubungan / berkomunikasi dengan anak / kelaurga.
Ada dua syarat hasil yang diharapkan dalam pelaksanaan perawatan yaitu :
a.Adanya bukti bahwa klien sedang dalam proses menuju kepada tujuan atau telah mencapai tujuan tersebut.
b.Adanya bukti bahwa tindakan-tindakan perawatan dapat diterima oleh klien.
Proses pelaksanaan perawatan mencakup 3 hal :
a.Melaksanakan rencana keperawatan
Yaitu segala informasi yang tercakup dalam rencana keperawatan merupakan dasar atau pedoman dalam intervensi perwatan.

b.Mengidentifikasi reaksi / tanggapan klien
Dalam mengidentifikasi reaksi klien dituntut upaya yang tidak tergesa-gesa dan cermat serta teliti, agar menemukan reaksi-reaksi klien sebagai akibat tindakan perawatan yang diberikan dengan melihat, akan sangat membantu perawat dalam mengidentifikasi reaksi klien yang mungkin menunjukkan adanya penyimpangan-penyimpangan.
c.Mengevaluasi tanggapan / reaksi klien
Dengan cara membandingkan terhadap syarat-syarat dengan hasil yang diharapkan. Langkah ini merupakan syarat yang pertama di penuhi bila perawat telah mencapai tujuan.
5.Evaluasi
Evaluasi untuk mengetahui sejauh mana pencapaian tujuan dalam asuhan keparawatan yang telah dilakukan, sebagai berikut :
a.Apakah tujuan keperawatan sudah tercapai atau belum ?
b.Apakah masalah yang ada telah teratasi ?
c.Apakah perlu pengkajian kembali ?
d.Apakah timbul masalah baru ?

Poenges Marilyam E, dkk, Rencana Asuhan Keperawatan, Edisi ke Tiga Jilid I, Jakarta.
Mansoer Arief, dkk, 2000 ; Kapita Selekta Kedokteran, Edisi ke Tiga Jilid I, Jakarta.
Ngastiyah, 1999, Perawatan Anak Sakit, EGC, Jakarta
Smeltzer and Bare C, 2000, Buku Ajar Medikal Bedah Brunner and Suddarth, Edisi 8, Volume 2, EGC, Jakarta.
Soegijanto Soegeng, 2002, Ilmu Penyakit Anak, Diagnosa dan Penatalaksanaan, Edisi I, Salemba Medikal, Jakarta

TETANUS

A.Definisi
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi dengan kejang otot secara proksimal dan diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekuatan tonus otot massater dan otot-otot rangka.
B.Etologi
Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 x 0,4-0,5 milimikro yang berbentuk spora selama diluar tubuh manusia, tersebar luas di tanah dan mengeluarkan toksin bila dalam kondisi baik.Termasuk golongan gram positif dan hidupnya anaerob. Kuman mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik. Toksin ini (tetanuspasmin) mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 C akan hancur dalam lima menit. Disamping itu dikenal pula tetanolysin yang hemolisis, yang peranannya kurang berarti dalam proses penyakit.
C.Patofisiologi
Penyakit tetanus terjadi karena adanya luka pada tubuh seperti luka tertusuk paku, pecahan kaca, atau kaleng, luka tembak, luka baker, luka yang kotor dan pada bayi dapat melalui tali pusat. Organisme multiple membentuk dua toksin yaitu tetanuspasmin yang merupakan toksin kuat dan atau neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot, dan mempengaruhi sistem saraf pusat.
Eksotoksin yang dihasilkan akan mencapai pada sistem saraf pusat dengan melewati akson neuron atau sistem vaskuler. Kuman ini menjadi terikat pada satu saraf atau jaringan saraf dan tidak dapat lagi dinetralkan oleh antitoksin spesifik. Namun toksin yang bebas dalam peredaran darah sangat mudah dinetralkan oleh aritititoksin.
Hipotesa cara absorbsi dan bekerjanya toksin adalah pertama toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawah ke korno anterior susunan saraf pusat. Kedua, toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk kedalam sirkulasi darah arteri kemudian masuk kedalam susunan saraf pusat.
Toksin bereaksi pada myoneural junction yang menghasilkan otot-otot manjadi kejang mudah sekali terangsang.
Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10 hari.
D.Gejala klinis
Masa tunas biasanya 5 – 14 hari, tetapi kadang-kadang sampai beberapa minggu pada infeksi ringan atau kalau terjadi modifikasi penyakit oleh antiserum.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher.
Dalam waktu 48 jam penyakit ini menjadi nyata dengan :
1.Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris.
2.Kaku kuduk sampai epistotonus (karena ketegangan otot-otot erector trunki)
3.Ketegangan otot dinding perut (harus dibedakan dengan abdomen akut)
4.Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior.
5.Risus sardonikus karena spasme otot muka (alis tertarik ke atas),sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi.
6.Kesukaran menelan,gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering marupakan gejala dini.
7.Spasme yang khas , yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dalam keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Anak tetap sadar. Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi. Kemudian tidak jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
8.Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi urine dapat terjadi karena spasme otot urethral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
9.Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
10.Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan otak.
Ada 3 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1.tetanus local : otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan spasme pada bagian paroksimal luak. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu dan menhilang tanpa sekuele.
2.Tetanus general merupakan bentuk paling sering, timbul mendadak dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung dan sakit kepala merupakan manifestasi awal. Dalam waktu singkat konstruksi otot somatik — meluas.
Timbul kejang tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian bawah. Pada mulanya spasme berlangsuang beberapa detik sampai beberapa menit dan terpisah oleh periode relaksasi.
3.Tetanus segal : varian tetanus local yang jarang terjadi masa inkubasi 1-2 hari terjadi sesudah otitis media atau luka kepala dan muka.
Paling menonjol adalah disfungsi saraf III, IV, VII, IX dan XI tersering adalah saraf otak VII diikuti tetanus umum.
Menurut berat gejala dapat dibedakan 3 stadium :
1.Trismus (3 cm) tanpa kejang-lorik umum meskipun dirangsang.
2.Trismur (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
3.Trismur (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
E.Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang sangat membantu.
F.Diagnosis banding
Spasme yang disebabkan oleh striknin jarang menyebabkan spasme otot rahang tetapi didiagnosis dengan pemeriksaan darah (kalsium dan fospat). Kejang pada meningitis dapat dibedakan dengan kelainan cairan serebropinalis. Pada rabies terdapat anamnesis gigitan anjing dan kucing disertai gejala spasme laring dan faring yang terus menerus dengan pleiositosis tetapi tanpa trismus.
Trismus dapat pula terjadi pada argina yang berat, abses retrofaringeal, abses gigi yang hebat, pembesaran getah bening leher. Kuduk baku juga dapat terjadi pada meningitis (pada tetanus kesadaran tidak menurun), mastoiditis, preumonia lobaris atas, miositis leher, spondilitis leher.

G.Pemeriksaan diagnostic
~ Pemeriksaan fisik : adanya luka dan ketegangan otot yang khas terutama pada rahang.
~ Pemeriksaan darah : leukosit 8.000-12.000 ca.
H.Komplikasi
1.Spame otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saripa) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
2.Asfiksia
3.Atelektaksis karena obstruksi secret
4.Fraktura kompresi.
I.Prognosis
Dipengaruhi oleh beberapa factor dan akan buruk pada masa tunas yang pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat mudah (neunatus) dan usia lanjut, bila disertai frekuensi kejang yang tinggi, kenaikan suhu tubuh yang tinggi, pengobatan yang terlambat, period of onsed yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang) dan adanya kompikasi terutama spame otot pernafasan dan obstruksi saluran pernafasan.
Mortalitas di Amerika Serikat dilaporkan 62 % (masih tinggi)
J.Penatalaksanaan
a.Secara Umum
~ Merawat dan memebersihkan luka sebaik-baiknya.
~ Diet TKTP pemberian tergantung kemampuan menelan bila trismus makanan diberi pada sonde parenteral.
~ Isolasi pada ruang yang tenang bebas dari rangsangan luar.
~ Oksigen pernafasan butan dan trakeotomi bila perlu.
~ Mengatur cairan dan elektrolit.
b.Obat-obatan
1.Antitoksin
Antitoksin 20.000 iu/1.m/5 hari. Pemberian baru dilaksanakan setelah dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
2.Anti kejang/Antikonvulsan
~ Fenobarbital (luminal) 3 x 100 mg/1.M. untuk anak diberikan mula-mula 60-100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6 x 30 mg hari (max. 200 mg/hari).
~ Klorpromasin 3 x 25 mg/1.M/hari untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
~ Diazepam 0,5-1,0 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
4.Antibiotik
Penizilin prokain 1, juta 1.u/hari atau tetrasiflin 1 gr/hari/1.V
Dapat memusnakan oleh tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.

K.Pencegahan
1.Imunisasi aktif toksoid tetanus, yang diberikan sebagai dapat paad usia 3,4 dan 5 bulan. Booster diberikan 1 tahun kemudian selanjutnya tiap 2-3 tahun.
2.Bila mendapat luka :
~ Perawatan luka yang baik : luka tusuk harus di eksplorasi dan dicuci dengan H2O2.
~ Pemberian ATS 1500 iu secepatnya.
~ Tetanus toksoid sebagai boster bagi yang telah mendapat imunisasi dasar.
~ Bila luka berta berikan pp selama 2-3 hari (50.000 iu/kg BB/hari).

DHF

Demam Dengue dan Dengue Hemorrage Fever
Disebabkan oleh virus dengue yang termasuk group B antropod borne virus (arboviruses) dan sekarang dikenal sebagai genus flavivirus, famili flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DEN – 1, DEN – 2, DEN – 3, dan DEN – 4.
Infeksi dengan salah satu serotive akan menimbulkan anti bodi seumur hidup terhadap serotipe yang lain.
Seseorang yang tinggal di daerah endemic dengue dapat terinfeksi dengan 3 atau bahkan 4 serotipe selama masa hidupnya.
Keempat jenis serotipe virus dengue ditemukan diberbagai daerah di Indonesia dan bersikulasi sepanjang tahun.
Serotipe DEN – 3 merupakan serotipe yang dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
Cara Penularan
Tiga faktor yang memegang peran pada penularan infeksi dengan:
Manusia
Virus
Vector perantara
Virus dengue ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti:
Langsung  setelah menggigit orang yang sedang mengalami viremia.
Tidak langsung  setelah melalui masa inkubasi dalam tubuhnya selama 8 – 10 hari (extrinsic incubation friod) pada manusia diperlukan waktu 4 – 6 hari (intrinsic incubation period) sebelum menjadi sakit setelah virus masuk ke dalam tubuh.
Pada nyamuk sekali virus dapat masuk dan berkembang biak dalam tubuhnya  nyamuk tersebut akan menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Sedangkan pada manusia penularan dapat terjadi 5 – 7 hari (viremia)

Patogenesis
Virus  Mikroorganisme yang hanya dapat hidup di dalam sel hidup
Kelangsungan hidupnya virus harus bersaing dengan sel manusia sebagai pejamu (host) terutama dalam kebutuhan protein.
 Persaingan tersebut tergantung pada daya tahan pejamu, penyakit akan sembuh sempurna dan timbul anti body atau perjalanan penyakit makin berat  +
Patogenesis DHF dan sindrom syok dengue (SSD)
 Kontroversi  dua teori umum yang dipakai:
Hipotesis infeksi sekunder  menyatakan secara tidak langsung bahwa pasien yang mengalami infeksi kedua kalinya dengan virus dengue serotipe yang heterolog mempunyai resiko > untuk kemungkinan mendapatkan DHF/SSD.
Antibody heterolog yang telah ada dalam tubuh sebelumnya akan mengenali virus lain yang menginfeksi kemudian dan membentuk kompleks antigen antibody yang kemudian berikatan dengan Fc reseptor membran sel leukosit terutama makrofag oleh karena antibody adalah heterolog  virus tidak dinetralisirkan oleh tubuh dan bebas melakukan replikasi di dalam sel makrofag.
Dihipotesiskan juga mengenai antibody dependent enhancement (ADE) yaitu suatu proses yang akan meningkat infeksi dan replikasi virus dengue di dalam sel mononuclear  sebagai tanggapan infeksi tersebut terjadi sekresi mediator vaso aktif yang kemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah sehingga mengakibatkan keadaan syok dan hipovolemia.
Menyatakan bahwa virus dengue seperti halnya semua virus binatang lainnya  secara genetive dapat berubah sebagai akibat tekanan pada seleksi sewaktu virus melakukan replikasi pada tubuh manusia maupun nyamuk sebagai tanggapan terhadap infeksi tersebut terjadi:
1.Aktivasi system komplemen sehingga dikeluarkan zat anapilatoksin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan terjadi perembesan plasma dari ruang intravaskuler ke ekstravaskuler (plasma leakage).
2.Agregasi trombosit sehingga jumlah trombosit menurun, apabila kejadian ini berlanjut akan menyebabkan kelainan fungsi trombosit sebagai akibat mobilisasi sel trombosit muda dari sumsum tulang.
3.Kerusakan sel endotel pembuluh darah yang akan merangsang/mengaktivasi faktor pembekuan.
Dapat menyebabkan:
a.Peningkatan permeabilitas kapiler sehingga mengakibatkan perembesan plasma, hipovolemia dan syok. DHF mengakibatkan adanya cairan di dalam rongga pleura dan rongga peritoneal yang berlangsung singkat selama 24 – 48 jam.
b.Kelainan hemostatis yang disebabkan oleh vaskulopati, trombositopenia, koagulopati  bleeding.

Diagnosis
Infeksi virus dengue bisa bersifat asimptomatik atau berupa demam yang tak jelas, berupa demam dengue sampai demam berdarah. Dengue dengan kecoboran plasma yang berakibat syok.
DHF:
Bisanya ditandai oleh 4 manifestasi klinik utama:
Demam tinggi.
Fenomena perdarahan.
Hepatomegali.
Kegagalan sirkulasi.
Gejala klinis DHF diawali dengan:
 demam mendadak, disertai dengan facial flush (muka kemerahan).
Gejala klinis lain yang tidak khas menyerupai gejala demam dengue seperti:
Anoreksia.
Muntah.
Sakit kepala.
Nyeri otot dan sendi.
Nyeri tenggorok (pemeriksaan faring hyperemis).
Perasaan tidak enak di daerah epigastrium.
Nyeri di bawah iga kanan.
Nyeri perut.

Derajat Penyakit dibagi dalam 4 derajat:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan ialah uji torniquet.
Derajat II : Seperti derajat I, disertai perdarahan spontan di kulit atau perdarahan lain.
Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lambat, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau <), hipertensi, sianosis di sekitar mulut, kulit dingin dan lembab, tampak gelisah.
Derajat IV : Syok berat (profound syok), nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

DEMAM TIFOID

I. Pengertian
Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus . Demam paratifoid biasanya lebih ringan dan menunjukkan manifestasi klinis yang sama atau menyebabkan enteritis akut . Sinonim demam tifoid dan demam paratifoid adalah typhoid dan paratyphoid fever, enteric fever, thyphus dan paratyphus abdominalis.

II. Epidemiologi
Demam tifoid dan demam paratifoid endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam undang-undang No. 6 tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Walaupun demam tifoid tercantum dalam undang-undang wabah dan wajib dilaporkan, namun data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologisnya belum diketahui secara pasti.
Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik, terpencar-pencar disuatu daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang-orang serumah. Sumber penularannya biasanya tidak dapat ditemukan. Ada dua sumber penularan S. typhi : pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Orang-orang tersebut mengekskresi 109 sampai 1011 kuman pergram tinja.
Didaerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan yang tercemar oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah nonendemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus mengekskresi S. typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun. Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier. Kuman-kuman S. typhi berada didalam batu empedu atau dalam dinding kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.

III. Etiologi
Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B dan S. paratyphi C.

IV. Patogenesis dan Patofisiologi
Kuman S. typhi masuk ketubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung. Sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque Peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman S. typhi kemudian menembus ke lamina propina, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe messenterial yang juga mengalami hipertropi. Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini S. typhi masuk kealiran darah melalui duktus thoracicus. Kuman-kuman S. typhi lain mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. S. typhi bersarang di plaque Peyeri, limpa, hati dan bagian-bagian lain system retikuloendotial.
Semula disangka demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid disebabkan oleh endotoksemia. Tapi kemudian berdasarkan penelitian-eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan merupakan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam tifoid. Endotoksin S. typhi berperan pada patogenesis demam tifoid, karena membantu terjadinya proses inflamasi lokal pada jaringan setempat S. typhi berkembang biak. Demam pada tifoid disebabkan karena S. typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan zat pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

V. Manifestasi Klinik
Masa tunas demam tifoid berlangsung 10 – 14 hari. Gejala-gejala yang timbul sangat bervariasi. Perbedaan ini tidak saja antara berbagai bagian dunia, tetapi juga di daerah yang sama dari waktu ke waktu. Selain itu gambaran penyakit bervariasi dari penyakit ringan yang tidak terdiagnosis, sampai gambaran penyakit yang khas dengan komplikasi dan kematian. Hal ini menyebabkan bahwa seorang ahli yang sudah sangat berpengalaman pun dapat mengalami kesulitan untuk membuat diagnosis klinis demam tifoid.
Dalam minggu pertama penyakit, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit akut pada umumnya. Yaitu demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak diperut, batuk dan epistaksis. Pada pemeriksaan fisik hanya dijumpai suhu badan meningkat. Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa demam, bradikardi relatif, lidah yang khas (kotor ditengah, tepi dan ujung merah dan tremor), hepatomegali, splenomegali, meteorismus, gangguan mental berupa samnolen, stupor, koma, delirium atau psikosis, roseolae jarang ditemukan pada orang Indonesia.

VI. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi dalam :
1. Komplikasi intestinal :
a.Perdarahan usus
b.Perforasi usus
c.Ileus paralitik
2. Komplikasi ekstra-intestinal :
a.Komplikasi kardiovaskular :
Kegagalan sirkulasi perifer (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.
b.Komplikasi darah :
Anemia hemolitik, trombositopenia dan/atau Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) dan sindrom uremia hemolitik.
c.Komplikasi paru :
Pneumonia, empiema dan pleuritis.
d.Komplikasi hepar dan kandung empedu :
Hepatitis dan kolesistisis.
e.Komplikasi ginjal :
Glomerulonefritis, pielonefritis dan perinefritis.
f.Komplikasi tulang :
Osteomielitis, periostitis, spondilitis dan artitis.
g.Komplikasi neuropsikatrik :
Delirium, meningismus, meningitis, polineuritis perifer, SGB, psikosis dan sindrom katatonia.
Pada anak-anak dengan demam paratifoid , komplikasi lebih jarang terjadi. Komplikasi sering terjadi pada keadaan toksemia berat dan kelemahan umum terutama bila perawatan pasien kurang sempurna.

VII. Prognosis
Prognosis demam tifoid tergantung dari umur, keadaan umum, derajat kekebalan tubuh, jumlah dan virulensi Salmonella serta cepat dan tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%.

VIII. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan leukosit
2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT
3. Biakan darah
4. Uji widal
Hati-hati adanya postif dan negatif palsu pada hasil pemeriksaan.

IX. Penatalaksanaan
Pengobatan demam tifoid terdiri atas tiga bagian yaitu : Perawatan, Diet dan Obat-obatan.
1. Perawatan
Pasien dengan demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi dan pengobatan. Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari. Mobilisasi pasien harus dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.
Pasien dengan kesadaran yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah-ubah pada waktu-waktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia hipostatik dan dekubitus.
Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih.
2. D i e t
Dimasa lampau, pasien dengan demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Karena ada pendapat bahwa usus perlu diistirahatkan.
Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini dapat diberikan dengan aman pada pasien demam tifoid.
3. O b a t
Obat-obat antimikroba yang sering dipergunakan ialah :
a.Kloramfenikol
b.Thiamfenikol
c.Ko-trimoksazol
d.Ampisillin dan Amoksisilin

e.Sefalosporin generasi ketiga
f.Fluorokinolon.
Obat-obat simptomatik :
a.Antipiretika (tidak perlu diberikan secara rutin).
b.Kortikosteroid (tapering off Selama 5 hari).
Vitamin B komp. Dan C sangat diperlukan untuk menjaga kesegaran dan kekuatan badan serta berperan dalam kestabilan pembuluh darah kapiler.
X. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Dasar data pengkajian klien :
1. Aktivitas/Istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan, malaise, cepat lelah. Insomnia, tidak tidur semalaman karena diare. Merasa gelisah dan ansietas. Pembatasan aktivitas/kerja s/d efek proses penyakit.
2. S i r k u l a s i
Tanda : Takhikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses imflamasi dan nyeri). Kemerahan, area ekimosis (kekurangan vitamin K). Hipotensi termasuk postural. Kulit/membran mukosa : turgor buruk, kering, lidah pecah-pecah (dehidrasi/malnutrisi).
3. Integritas Ego
Gejala : Ansietas, ketakutan, emosi kesal, mis. Perasaan tidak berdaya/tidak ada harapan. Faktor stress aku/kronis mis. Hubungan dengan keluarga/pekerjaan, pengobatan yang mahal. Faktor budaya – peningkatan prevalensi.
Tanda : Menolak, perhatian menyempit, depresi.
4. E l i m i n a s i
Gejala : Tekstur feces bervariasi dari bentuk lunak sampai bau atau berair. Episode diare berdarah tidak dapat diperkirakan, hilang timbul, sering tidak dapat dikontrol, perasaan dorongan/kram (tenesmus). Defakasi berdarah/pus/mukosa dengan atau tanpa keluar feces. Peradarahan perektal.
Tanda : Menurunnya bising usus, tidak ada peristaltik atau adanya peristaltik yang dapat dilihat. Haemoroid, oliguria.
5. Makanan/Cairan
Gejala : Anoreksia, mual/muntah. Penurunan BB. Tidak toleran terhadap diet/sensitive mis. Buah segar/sayur, produk susu, makanan berlemak.
Tanda : Penurunan lemak subkutan/massa otot. Kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk. Membran mukosa pucat, luka, inflamasi rongga mulut.
6. H i g i e n e
Tanda : Ketidakmampuan mempertahankan perawatan diri. Stomatitis menunjukkan kekurangan vitamin. Bau badan.
7. Nyeri/Kenyamanan
Gejala : Nyeri/nyeri tekan pada kuadran kanan bawah (mungkin hilang dengan defakasi). Titik nyeri berpindah, nyeri tekan, nyeri mata, foofobia.
Tanda : Nyeri tekan abdomen/distensi.
8. K e a m a n a n
Gejala : Anemia hemolitik, vaskulitis, arthritis, peningkatan suhu (eksaserbasi akut), penglihatan kabur. Alergi terhadap makanan/produk susu.
Tanda : Lesi kulit mungkin ada, ankilosa spondilitis, uveitis, konjungtivitis/iritis.
9. Seksualitas
Gejala : Frekuensi menurun/menghindari aktivitas seksual.
10. Interaksi Sosial
Gejala : Masalah hubungan/peran s/d kondisi, ketidakmampuan aktif dalam sosial.
11. Penyuluhan Pembelajaran
Gejala : Riwayat keluarga berpenyakit inflamasi usus.
B. Diagnosa Keperawatan, Tujuan, Rasinalisasi Yang Lazim Terjadi
1. Diare b/d inflamasi, iritasi dan malabsorpsi usus, adanya toksin dan penyempitan segemental usus ditandai dengan :
– Peningkatan bunyi usus/peristaltik.
– Defakasi sering dan berair (fase akut)
– Perubahan warna feses.
– Nyeri abdomen tiba-tiba, kram.
Tujuan :
– Klien akan melaporkan penurunan frekuensi defakasi, konsistensi kembali normal.
– Klien akan mampumengidentifikasi/menghindari faktor pemberat.
Intervensi :
1. Observasi dan catat ferkuensi defakasi, karekteristik, jumlah dan faktor pencetus.
R/ : Membantu membedakan penyakit individu dan mengkaji beratnya episode.
2. Tingkatkan tirah baring, berikan alat-alat disamping tempat tidur.
R/ : Istirahat menurunkan motalitas usus juga menurunkan laju metabolisme bila infeksi atau perdarahan sebagai komplikasi. Defakasi tiba-tiba dapat terjadi tanpa tanda dan dapat tidak terkontrol, peningkatan resiko inkontinensia/jatuh bila alat-alat tidak dalam jangkauan tangan.
3. Buang feses dengan cepat dan berikan pengharum ruangan.
R/ : Menurunkan bau tak sedap untuk menghindari rasa malu klien.
4. Identifikasi makanan/cairan yang mencetuskan diare.
R/ : Menghindari iritan dan meningkatkan istirahat usus.

5. Observasi demam, takhikardi, lethargi, leukositosis/leukopeni, penurunan protein serum, ansietas dan kelesuan.
R/ : Tanda toksik megakolon atau perforasi dan peritonitis akan terjadi/telah terjadi memerlukan intervensi medik segera.
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Antikolinergik.
R/ : Menurunkan motalitas/peristaltik GI dan menurunkan sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan diare.
Steroid
R/ : Diberikan untuk menurunkan proses inflamasi.
Antasida
R/ : Menurunkan iritasi gaster, mencegah inflamasi dan menurunkan resiko infeksi pada kolitis.
Antibiotik
R/ : Mengobati infeksi supuratif lokal.
7. Bantu/siapkan intervensi bedah.
R/ : Mungkin perlu bila perforasi atau obstruksi usus terjadi atau penyakit tidak berespon terhadap pengobatan medik.

2. Risiko kurang volume cairan b/d Kehilangan banyak melalui rute normal (diare berat, muntah), status hipermetabolik dan pemasukan terbatas.
Tujuan :
Klien akan menampakkan volume cairan adekuat/mempertahankan cairan adekuat dibuktikan oleh membran mukosa lembab, turgor kulit baik dan pengisian kapiler baik, TTV stabil, keseimbangan masukan dan haluaran dengan urine normal dalam konsentrasi/jumlah.

Intervensi :
1. Awasi masukan dan haluaran urine, karakter dan jumlah feces, perkirakan IWL dan hitung SWL.
R/ : Memberikan informasi tentang keseimbangan cairan, fungsi ginjal dan kontrol penyakit usus juga merupakan pedoman untuk penggantian cairan.
2. Observasi TTV.
R/ : Hipotensi (termasuk postural), takikardi, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan/atau efek kehilangan cairan.
3. Observasi adanya kulit kering berlebihan dan membran mukosa, penurunan turgor kulit, prngisisan kapiler lambat.
R/ : Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi.
4. Ukur BB tiap hari.
R/ : Indikator cairan dan status nutrisi.
5. Pertahankan pembatasan peroral, tirah baring dan hindari kerja.
R/ : Kolon diistirahatkan untuk penyembuhan dan untuk menurunkan
kehilangan cairan usus.
6. Catat kelemahan otot umum dan disritmia jantung
R/ : Kehilangan cairan berlebihan dapat menyebabkan ketidak seimbangan elektrolit. Gangguan minor pada kadar serum dapat mengakibatkan adanya dan/atau gejala ancaman hidup.
7. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
Cairan parenteral, transfusi darah sesuai indikasi.
R/ : Mempertahankan istirahat usus akan memerlukan penggatntian cairan untuk memperbaiki kehilangan/anemia.
Anti diare.
R/ : Menurunkan kehilangan cairan dari usus.

Antiemetik
R/ : Digunakan untuk mengontrol mual/muntah pada eksaserbasi akut.
Antipiretik
R/ : Mengontrol demam. Menurunkan IWL.
Elektrolit tambahan
R/ : Mengganti kehilangan cairan melalui oral dan diare.

3. Konstipasi b/d masukan cairan buruk, diet rendah serat dan kurang latihan, inflamasi, iritasi, ditandai dengan :tidak ada feses.
Tujuan :
Klien akan menampakkan/melaporkan kembali pola fungsi usus yang normal.
Intervensi :
1. Observasi bisisng usus.
R/ : Kembalinya fungsi GI mungkin terlambat oleh inflamasi intraperitoneal, obat-obatan. Adanya bunyi abnormal menunjukkan adanya komplikasi.
2. Amati adanya keluhan nyeri abdomen.
R/ : Mungkin berhubungan adanya distensi gas atau terjadinya komplikasi.
3. Observasi gerakan usus. Amati feses, konsistensi, warna dan jumlah.
R/ : Indikator kembalinya fungsi GI, mengidentifikasi ketepatan intervensi.
4. Anjurkan makanan/cairan yang tidak mengiritasi bila masukan oral diberikan.
R/ : Menurunkan risiko iritasi mukosa.
5. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian pelunak feses, supositoria
gliserin sesuai indikasi.
R/ : Mungkin perlu untuk merangsang peristaltik dengan perlahan/evakuai
feses.
4. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan absorbsi nutrien, status hipermetabolik, secara medik masukan dibatasi ditandai dengan :
– Penurunan BB, penurunan lemak subkutan/massa otot, tonus otot buruk.
– Bunyi usus hiperaktif.
– Konjungtiva dan membran mukosa pucat.
– Menolak untuk makan.
Tujuan :
Klien akan menunjukkan/menampakkan BB stabil atau peningkatan BB sesuai sasaran dan tidak ada tanda-tanda malnutrisi.
Intervensi :
1. Timbang BB setiap hari atau sesuai indikasi.
R/ : Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.
2. Dorong tirah baring dan/atau pembatasan aktifitas selama fase sakit akut.

R/ : Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori
dan simpanan energi.
3. Anjurkan istirahat sebelum makan.
R/ : Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.
4. Berikan kebersihan mulut terutama sebelum makan.
R/ : Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.
5. Ciptakan lingkungan yang nyaman.
R/ : Lingkungan yang nyaman menurunkan stress dan lebih kondusif untuk
makan.
6. Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen, flatus.
R/ : Mencegah serangan akut/eksaserbasi gejala.
7. Dorong klien untuk menyatakan perasaan masalah mulai makanan/diet.
R/ : Keragu-raguan untuk makan mungkin diakibatkan oleh takut makan
akan menyebabkan eksaserbasi gejala.
8. Kolaborasi dengan tim gizi/ahli diet sesuai indikasi, mis : cairan jernih berubah menjadi makanan yang dihancurkan, rendah sisa, protein tinggi, tinggi kalori dan rendah serat.
R/ : Memungkinkan saluran usus untuk mematikan kembali proses pencernaan. Protein perlu untuk penyembuhan integritas jaringan. Rendah serat menurunkan respon peristaltik terhadap makanan.
9. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
– Preparat Besi.
R/ : Mencegah/mengobati anemi.
Vitamin B12
R/ : Penggantian mengatasi depresi sumsum tulang karena proses inflamasi lama, Meningkatkan produksi SDM/memperbaiki anemia.
Asam folat.
R/ : Kehilangan folat umum terjadi akibat penurunan masukan/absopsi.
Nutrisi parenteral total, terapi IV sesuai indikasi.
R/ : Program ini mengistirahatkan GI sementara memberikan nutrisi
penting.

5. Nyeri b/d Hiperperistaltik,diare lama, iritasi kulit/jaringan, ekskoriasi fisura perirektal ditandai dengan :
– Laporan nyeri abdomen kolik/kram/nyeri menyebar.
– Perilaku distraksi, gelisah.
– Ekspresi wajah meringis
– Perhatian pada diri sendiri.
Tujuan :
– Klien akan melaporkan nyeri hialng/terkontrol.
– Klien akan menampakkan perilaku rileks dan mampu tidur/istirahat dengan
tepat.
Intervensi :
1. Dorong klien untuk melaporkan nyeri yang dialami.
R/ : Mencoba untuk mentoleransi nyeri daripada meminta analgesik.
2. Observasi laporan kram abdomen atau nyeri, catat lokasi, lamanya, intensitas (skala 0 – 10), selidiki dan laporkan perubahan karakteristik nyeri.
R/ : Nyeri sebelum defakasi sering terjadi dengan tiba-tiba dimana dapat berat dan terus menerus. Perubahan pada karakterisik nyeri dapat menunjukkan penyebaran penyakit/terjadinya komplikasi.
3. Amati adanya petunjuk nonverbal , selidiki perbedaan petunjuk verbal dan nonverbal.
R/ : Bahasa tubuh/petunjuk nonverbal dapat secara psikologis dan fisiologis dapat digunakan pada hubungan petunjuk verbal untuk untuk mengidentifikasi luas/beratnya masalah.
4. Kaji ulang faktor-faktor yang menyebabkan meningkatnya/menghilangnya nyeri.
R/ : Dapat menunjukkan dengan tepat pencetus atau faktor pemberat atau mengidentifikasi terjadinya komplikasi.
5. Berikan tindakan nyaman seperti pijatan punggung, ubah posisi dan aktifitas
senggang.
R/ : Meningkatkan relaksasi, memfokuskan kembali perhatian dan meningkatkan kemampuan koping.
6. Observasi/catat adanya distensi abdomen dan TTV.
R/ : Dapat menunjukkan terjadinya obstruksi usus karena inflamasi, edema dan jaringan parut.
7. Kolaborasi dengan timgizi/ahli diet dalam melakukan modifikasi diet dengan
memberikan cairan dan meningkatkan makanan padat sesuai toleransi.
R/ : Istirahat usus penuh dapat menurunkan nyeri/kram.

8. Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian :
– Analgesik
R/ : Nyeri bervariasi dari ringan sampai berat dan perlu penanganan untuk memudahkan istirahat secara adekuat dan prose penyembuhan.
– Antikolinergik
R/ : Menghilangkan spasme saluran GI dan berlanjutnya nyeri kolik.
– Anodin supp.
Merilekskan otot rectal dan menurunkan nyeri spasme.

6. Cemas b/d Faktor psikologi/rangsang simpatis (proses inflamasi), ancaman
konsep diri, ancaman terhadap perubahan/perubahan status kesehatan dan
status sosioekonomi ditandai dengan :
– Eksaserbasi penyakit tahap akut.
– Peningkatan ketegangan, distress, ketakutan.
– Menunjukkan masalah tentang perubahan hidup.
– Perhatian pada diri sendiri.
Tujuan :
– Klien akan menampakkan perilaku rileks dan melaporkan penurunan
kecemasan sampai tingkat mudah ditangani.
– Klien akan menyatakan kesadaran perasaan kecemasan dan cara sehat
menerimanya.
Intervensi :
1. Amati petunjuk perilaku mis : gelisah, peka rangsang, menolak, kurang kontak mata, perilaku menarik perhatian.
R/ : Indikator derajat kecemasan/stress. Hal ini dap terjadi akibat gejala fisik kondisi juga reaksi lain.

2. Dorong klien untuk mengeksplorasi perasaan dan berikan umpan balik.
R/ : Membuat hubungan teraupetik. Membantu klien/orang terdekat dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress. Klien dengan diare berat/konstipasi dapat ragu-ragu untuk meminta bantuan karena takut terhadap staf.
3. Berikan informasi nyata/akurat tentang apa yang dilakukan mis : tirah baring,
pembatasan masukan peroral dan posedur.
R/ : Keterlibatan klien dalam perencanaan perawatan memberikan rasa kontrol dan membantu menurunkan kecemasan.
4. Berikan lingkungan tenang dan istitahat.
R/ : Memindahkan klien dari stress luar meningkatkan relaksasi dan membantu menurunkan kecemasan.
5. Dorong klien/orang terdekat untuk menyatakan perhatian, perilaku perhatian.
R/ : Tindakan dukungan dapat membantu klien merasa stress berkurang, memungkinkan energi dapat ditujukan pada penyembuhan/perbaikan.
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi/memerlukan perilaku koping yang
digunakan pada masa lalu.
R/ : Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/stress saat ini, meningktkan rasa kontrol diri klien.
7. Bantu klien belajar mekanisme koping baru mis : teknik mengatasi stress,
keterampilan organisasi.
R/ : Belajar cara baru untuk mengatasi masalah dapat membantu dalam menurunkan stress dan kecemasan, meningkatkan kontrol penyakit.
8. Kolaborai dengan tim medis dalam pemberian sedatif sesuai indikasi.
R/ : Dapat digunakan untuk menurunkan ansietas dan memudahkan istirahat.

7. Kurang pengetahun (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis dan
kebutuhan pengobatan b/d kesalahaninterpretasi informasi, kurang
mengingat dan tidak mengenal sumber informai ditandai dengan :
– Pertanyaan, meminta informasi, pernyataan salah konsep.
– Tidak akurat mengikuti instruksi.
– Terjadi komplikasi/eksaserbasi yang dapat dicegah.
Tujuan :
– Klien akan menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan pengobatan.
– Klien akan dapat mengidentifikasi situasi stress dan tindakan khusus untuk
menerimanya.
– Klien akan berpartisipai dalam program pengobatan.
– Klien akan melakukan perubahan pola hidup tertentu.
Intervensi :
1. Kaji persepsi klien tentang proses penyakit.
R/ : Membuat pengetahuan dasar dan memberikan kesadran kebutuhan belajar individu.
2. Jelaskan tentan proses penyakit, penyebab/efek hubungan faktor yang
menimbulkan gejala dan mengidentifikasi cara menurunkan faktor penyebab.
Dorong klien untuk mengajukan pertanyaan.
R/ : Pengetahuan dasar yang akurat memberikan klien kesempatan untuk membuat keputusan informasi/pilihan tentang masa depan dan kontrol penyakit kronis. Meskipun kebanyakan klien tahu tentang proses penyakitnya sendiri, merek dapat mengalami informai yang tertinggal atau salah konsep.
3. Jelaskan tentang obat yang diberikan, tujuan, frekuensi, dosis dan
kemungkinan efek samping.
R/ : Meningkatkan pemahaman dan dapat meningkatkan kerjasama dalam program.
4. Tekankan pentingnya perawatan kulit mis : teknik cuci tangan dengan baik
dan perawatan perineal yang baik.
R/ : Menurunkan penyebran bakteri dan risiko iritasi kulit/kerusakan, infeksi.
5. Anjurkan menghentikan merokok.
R/ : Dapat meningkatkan motalitas usus, meningkatkan gejala.
C. Implementasi (Pelaksanaan dari Intervensi)
D. E v a l u a s i
Asuhan keperawatan pada klien dengan masalah utama demam tifoid dikatakan berhasil/efektif jika :
1. Klien mampu mengontrol diare/konstipasi melalui fungsi usus optimal/stabil.
2. Komplikasi minimal/dapat dicegah.
3. Stres mental/emosi minimal/dapat dicegah dengan menerima kondisi dengan positif.
4. Klien mampu mengetahui/memahami/menyebutkan informasi tentang proses penyakit, kebutuhan pengobatan dan aspek jangka panjang/potensial komplikasi
berulangnya penyakit.

HIV AIDS

1. Definisi
HIV
Human immunodeficiency virus adalah virus penyebab Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS). HIV yang dulu disebut sebagai HTLV-III (Human T cell lympothropic virus Tipe III) atau LAV (Lymphadenopathy Virus), adalah virus sitopatik dari famili retrovirus. Hal ini menunjukkan bahwa virus ini membawa materi genetiknya dalam asam ribonukleat (RNA) dan bukan dalam asam deoksiribonukleat (DNA) (Price & Wilson, 1995).
Virus ini memiliki kemampuan unik untuk mentransfer informasi genetik mereka dari RNA ke DNA dengan menggunakan enzim yang disebut reverse transcriptase, yang merupakan kebalikan dari proses transkripsi (dari DNA ke RNA) dan translasi (dari RNA ke protein) pada umumnya (Muma et al, 1997).
AIDS
Acquired Immunodeficiency Syndrome adalah sekumpulan gejala penyakit karena menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV (Samsuridjal Djauzi, 2004).
Centers for Disease Control (CDC) merekomendasikan bahwa diagnosa AIDS ditujukan pada orang yang mengalami infeksi opportunistik, dimana orang tersebut mengalami penurunan sistem imun yang mendasar (sel T berjumlah 200 atau kurang) dan memiliki antibodi positif terhadap HIV. Kondisi lain yang sering digambarkan meliputi kondisi demensia progresif, “wasting syndrome”, atau sarkoma kaposi (pada pasien berusia lebih dari 60 tahun), kanker-kanker khusus lainnya (yaitu kanker serviks invasif) atau diseminasi dari penyakit yang umumnya mengalami lokalisasi (misalnya, TB) (Doengoes, 2000).

2. Patofisiologi
Virus memasuki tubuh dan terutama menginfeksi sel yang mempunyai molekul CD4. Kelompok terbesar yang mempunyai molekul CD4 adalah limfosit T4 yang mengatur reaksi sistem kekebalan manusia. Sel-sel target lain adalah monosit, makrofag, sel dendrit, sel langerhans dan sel mikroglia. Setelah mengikat molekul CD4 melalui transkripsi terbalik. Beberapa DNA yang baru terbentuk saling bergabung dan masuk ke dalam sel target dan membentuk provirus. Provirus dapat menghasilkan protein virus baru, yang bekerja menyerupai pabrik untuk virus-virus baru. Sel target normal akan membelah dan memperbanyak diri seperti biasanya dan dalam proses ini provirus juga ikut menyebarkan anak-anaknya. Secara klinis, ini berarti orang tersebut terinfeksi untuk seumur hidupnya (Price & Wilson, 1995).
Siklus replikasi HIV dibatasi dalam stadium ini sampai sel yang terinfeksi diaktifkan. Aktifasi sel yang terinfeksi dapat dilaksanakan oleh antigen, mitogen, sitokin (TNF alfa atau interleukin 1) atau produk gen virus seperti sitomegalovirus (CMV), virus Epstein-Barr, herpes simpleks dan hepatitis. Sebagai akibatnya, pada saat sel T4 yang terinfeksi diaktifkan, replikasi serta pembentukan tunas HIV akan terjadi dan sel T4 akan dihancurkan. HIV yang baru dibentuk ini kemudian dilepas ke dalam plasma darah dan menginfeksi sel-sel CD4+ lainnya. Karena proses infeksi dan pengambil alihan sel T4 mengakibatkan kelainan dari kekebalan, maka ini memungkinkan berkembangnya neoplasma dan infeksi opportunistik (Brunner & Suddarth, 2001).
Sesudah infeksi inisial, kurang lebih 25% dari sel-sel kelenjar limfe akan terinfeksi oleh HIV pula. Replikasi virus akan berlangsung terus sepanjang perjalanan infeksi HIV; tempat primernya adalah jaringan limfoid. Kecepatan produksi HIV diperkirakan berkaitan dengan status kesehatan orang yang terjangkit infeksi tersebut. jika orang tersebut tidak sedang menghadapi infeksi lain, reproduksi HIV berjalan dengan lambat. Namun, reproduksi HIV tampaknya akan dipercepat kalau penderitanya sedang menghadapi infeksi lain atau kalau sistem imunnya terstimulasi. Keadaan ini dapat menjelaskan periode laten yang diperlihatkan oleh sebagian penderita sesudah terinfeksi HIV. Sebagian besar orang yang terinfeksi HIV (65%) tetap menderita HIV/AIDS yang simptomatik dalam waktu 10 tahun sesudah orang tersebut terinfeksi (Brunner & Suddarth, 2001).
3. Manifestasi klinik
Gejala dini yang sering dijumpai berupa eksantem, malaise, demam yang menyerupai flu biasa sebelum tes serologi positif. Gejala dini lainnya berupa penurunan berat badan lebih dari 10% dari berat badan semula, berkeringat malam, diare kronik, kelelahan, limfadenopati. Beberapa ahli klinik telah membagi beberapa fase infeksi HIV yaitu : (Majalah Kedokteran Indonesia, 1995)

1.Infeksi HIV Stadium Pertama
Pada fase pertama terjadi pembentukan antibodi dan memungkinkan juga terjadi gejala-gejala yang mirip influenza atau terjadi pembengkakan kelenjar getah bening.
2.Persisten Generalized Limfadenopati
Terjadi pembengkakan kelenjar limfe di leher, ketiak, inguinal, keringat pada waktu malam atau kehilangan berat badan tanpa penyebab yang jelas dan sariawan oleh jamur kandida di mulut.
3.AIDS Relative Complex (ARC)
Virus sudah menimbulkan kemunduran pada sistem kekebalan sehingga mulai terjadi berbagai jenis infeksi yang seharusnya dapat dicegah oleh kekebalan tubuh. Disini penderita menunjukkan gejala lemah, lesu, demam, diare, yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya dan berlangsung lama, kadang-kadang lebih dari satu tahun, ditambah dengan gejala yang sudah timbul pada fase kedua.
4.Full Blown AIDS
Pada fase ini sistem kekebalan tubuh sudah rusak, penderita sangat rentan terhadap infeksi sehingga dapat meninggal sewaktu-waktu. Sering terjadi radang paru pneumocytik, sarcoma kaposi, herpes yang meluas, tuberculosis oleh kuman opportunistik, gangguan pada sistem saraf pusat, sehingga penderita pikun sebelum saatnya. Jarang penderita bertahan lebih dari 3-4 tahun, biasanya meninggal sebelum waktunya.

4. Kriteria Diagnostik
Diagnostik AIDS ditegakkan bila ditemukan dua tanda mayor dan satu tanda minor tanpa penyebab lain, yaitu : (Majalah Kedokteran Indonesia, 1995)
1.Tanda Mayor
a.Penurunan berat badan lebih dari 10% berat badan semula.
b.Diare kronik lebih dari 1 bulan.
c.Demam menetap lebih dari 1 bulan intermitten dan konstan.
2.Tanda minor
a.Batuk menetap lebih dari 1 bulan.
b.Dermatitis generalisata.
c.Herpes zoster rekuren.
d.Infeksi herpes simpleks virus kronik progresif disseminata.
5. Penularan
HIV ditularkan melalui kontak seksual, injeksi perkutan terhadap darah yang terkontaminasi atau perinatal dari infeksi ibu ke bayinya.
Jalur penularan infeksi HIV serupa dengan infeksi Hepatitis B.
Anal intercourse/anal manipulation (homoseksual) akan meningkatkan kemungkinan trauma pada mukosa rektum dan selanjutnya memperbesar peluang untuk terkena virus HIV lewat sekret tubuh.
Hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti.
Hubungan heteroseksual dengan orang yang menderita infeksi HIV.
Melalui pemakai obat bius intravena terjadi lewat kontak langsung darah dengan jarum dan semprit yang terkontaminasi. Meskipun jumlah darah dalam semprit relatif kecil, efek kumulatif pemakaian bersama peralatan suntik yang sudah terkontaminasi tersebut akan meningkatkan risiko penularan.
Darah dan produk darah, yang mencakup transfusi yang diberikan pada penderita hemofilia, dapat menularkan HIV kepada resipien.
Berhubungan seksual dengan orang yang melakukan salah satu tindakan diatas.
(Dikutip dari Brunner & suddarth, 2001).
6. Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan
Tes antibodi HIV
ELISA

Western blot
Indirect Immunofluorescence assay (IFA)
Radio Immunopresipitation assay (RIPA)
Pelacakan HIV
Antigen p24
Reaksi rantai polimerase (PCR)
Kultur sel mononukleat darah perifer untuk HIV-1

Kultur sel kuantitatif
Kultur plasma kuantitatif

Mikroglobulin B2

Neoprotein serum

Status imun
#sel-sel CD4+
%sel-sel CD4+
Rasio CD4:CD8
Hitung sel darah putih
Kadar immunoglobulin
Tes fungsi sel CD4+

Reaksi sensitivitas pada tes kulit
Hasil pada infeksi HIV

Hasil tes yang positif dipastikan dengan Western Blot
Positif
Hasil tes yang positif dipastikan dengan Western Blot
Positif, lebih spesifik dan sensitif daripada Western Blot

Positif untuk protein virus yang bebas
Deteksi RNA/DNA virus HIV
Positif jika dua kali uji berturut-turut mendeteksi enzim reverse transcriptase atau antigen p24 dengan kadar yang meningkat
Mengukur muatan virus dalam sel
Mengukur muatan virus lewat virus bebas yang infeksius dalam plasma
Protein meningkat bersamaan dengan berlanjutnya penyakit
Kadar meningkat dengan berlanjutnya penyakit

Menurun
Menurun
Menurun
Normal hingga menurun
Meningkat
Sel-sel T4 mengalami penurunan kemampuan untuk bereaksi terhadap antigen
Menurun hingga tak terdapat
(Dikutip dari Brunner & Suddarth, 2001)
7.Pengobatan
Dikutip dari Zubairi Djurban (2003), Obat Antiretrovirus (ARV) bekerja langsung menghambat replikasi (penggandaan diri) HIV.
Tujuan utama terapi :
Menekan jumlah virus secara maksimal dan terus menerus mencegah dan/atau mengembangkan fungsi imun.
Memperbaiki kualitas hidup.
Mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat infeksi HIV.
Indikasi :
Pasien yang telah memperlihatkan gejala AIDS.
Pasien tanpa gejala dengan CD4 55.000 kopi/ml.
Pencegahan penularan dari ibu ke bayi.
Pengobatan profilaksis pada orang yang terpapar dengan cairan tubuh yang mengandung virus HIV.
Tiga golongan obat ARV yang tersedia di Indonesia :
Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NRTI)
Menghambat proses perubahan RNA virus menjadi DNA (replikasi virus).
Zidovudine (ZDV/AZT).
Iamivudine (3TC)
Didanosine (ddI)

Zalcitabine (ddC)
Stavudine (d4T)
Abacavir (ABC)

Non-Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor (NNRTI)
Nevirapine (NVP)
Evafirenz (EFZ)
Delavirdine (DLV)
Protease Inhibitor (PI)
Menghambat enzim protease yang memotong rantai panjang asam amino menjadi protein yang lebih kecil.
Indinavir (IDV)
Nelfinavir (NFV)
Saquinavir (SQV)
Ritonavir (RTV)
Amprenavir (APV)
Iopinavir/ritonavir (LPV/r)
(Zubairi Djurban, 2003).
8. Prognosis
Sulit sekali menduga apalagi menentukan perjalanan penyakit pada waktu diagnosis AIDS ditegakkan. Mortalitas pasien AIDS mendekati 100% (Majalah Kesehatan Indonesia, 1995).
9. Pencegahan
Pencegahan dengan menghilangkan atau mengurangi perilaku berisiko merupakan tindakan yang sangat penting.
Penurunan risiko pada individu :
Pendidikan kesehatan dan peningkatan pengetahuan yang benar mengenai patofisiologi HIV dan transmisinya terutama mengenai fakta penyakit dan perilaku yang dapat membantu mencegah penyebarannya.
Kontak seksual antara homoseksual sebaiknya dengan kondom.
Kurangi jumlah pasangan atau pakai kondom.
Tidak menggunakan alat suntik bersama-sama.
Membersihkan alat suntik dengan cairan pembersih atau mengganti jarum suntik.
Orang normal dengan pasangan yang berisiko, menggunakan teknik seks yang aman :
Menghindari aktivitas seksual yang berisiko (anal/vaginal).
Pakai kondom dari lateks.
Pakai spermisida nonoksinol-9.
Pemijatan serta sentuhan.
Untuk pasien hemofili atau kemungkinan untuk transfusi dan penggunaan produk darah :
Menyimpan darah sendiri sebelum operasi.
Hemodilusi.
Penggunaan rekombinan faktor pembeku darah.
Penggunaan rekombinan faktor pertumbuhan hematopoietik.
Pengganti sel darah merah.
Wanita dengan HIV : kontrasepsi untuk mencegah kehamilan dan tidak memberi ASI pada bayi.
Penurunan risiko pada tenaga kesehatan :
Penggunaan alat pelindung pribadi untuk menurunkan risiko terkena darah atau bahan-bahan lain yang mungkin infeksius.
Setelah penggunaan alat pelindung, tangan harus dicuci dengan sabun dan air.
Batasi resusitasi mouth to mouth, gunakan alat bantu mulut, kantung resusitasi, dan lain-lain yang tersedia.
Cuci bagian tubuh yang terpapar cairan tubuh/mukosa membran yang potensial menimbulkan infeksi dengan sabun dan air.
Pemeriksaan HIV dan hepatitis bagi yang tertusuk jarum, tergores pisau.
Dekontaminasi area kerja.
Pembuangan alat-alat medis pada tempat yang tepat.
Hindari penutupan kembali dengan kedua tangan, membengkokkan, memindahkan jarum suntik bekas. Lakukan dengan satu tangan atau dengan forceps (Muma et al, 1997).
10. Prioritas Keperawatan
a. Mencegah, memperkecil infeksi
b. Mempertahankan homeostatis.
c. Mengusahakan kenyamanan
d. Memberikan penyesuaian psikososial
e. Memberikan informasi mengenai proses penyakit/ prognosis dan kebutuhan perawatan.

vesikel-2.jpg

TBC

Tuberculosis

Tuberculosis (sering dikenal sebagai “TB”) adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Umumnya menginfeksi paru-paru, walaupun dapat pula menginfeksi organ tubuh lainnya.

Ketika seseorang yang mengidap TB batuk atau bersin, udara yang disemburkan mengandung titik air yang tercemar bakteri tersebut. Biasanya orang tertular TB karena menghirup udara yang mengandung titik air terinfeksi ini.

Sebagai salah satu penyakit yang ditakuti pada abad ke-19, TB adalah penyebab nomor 8 kematian anak usia 1 hingga 4 tahun pada tahun ’20-an. Dengan meningkatnya standar kehidupan dan pelayanan kesehatan di Amerika Serikat, tingkat kejadian TB menurun. Pada tahun ’60-an penyakit ini bahkan tidak termasuk di antara 10 penyebab kematian utama pada anak dalam usia berapa pun.

Namun TB menyerang kembali di Amerika Serikat akhir-akhir ini – terutama di antara para gelandangan, narapidana, dan mereka yang rentan akibat terinfeksi HIV. Selain itu, muculnya kasus TBC yang resisten terhadap kombinasi obat juga semakin meningkat.

Tanda dan Gejala

Uji rutin untuk TB menggunakan tes tuberkulin pada kulit (digunakan untuk menentukan apakah seseorang sudah terinfeksi bakteri TBC) kini hanya dianjurkan untuk anak yang berisiko tinggi terpapar penyakit ini. Faktor risiko termasuk tertular orang dewasa, melakukan kontak dengan mantan narapidana, gelandangan, dan melakukan perjalanan ke negara yang memiliki tingkat penularan TBC yang tinggi, seperti Meksiko, India, Vietnam, Cina, Filipina, dan kebanyakan negara di Amerika Latin, Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Anak adopsi dari daerah berisiko tinggi juga perlu diuji, termasuk Rumania dan Rusia.

Pada kebanyakan kasus, hanya jika hasil tes tuberkulin pada kulit positif, maka anak tersebut telah terinfeksi. Anak yang hasil tes tuberkulinnya positif, walaupun tidak menunjukkan gejala penyakit, umumnya perlu memperoleh pengobatan. Namun untuk anak yang berisiko tinggi, hasil tes yang negatif perlu dilanjutkan dengan foto rontgen dan pengobatan. Hasil uji yang demikian perlu diulang tiga bulan kemudian.

Uji TBC, yang biasa disebut sebagai tes Mantoux, merupakan tes tuberkulin pada kulit dengan menggunakan 5 unit derifatif protein termurnikan (purified protein derivative, PPD). Uji TBC dalam bentuk lain tidak dianjurkan. Setelah dilakukan pada lengan si anak, tes tuberkulin pada kulit dibaca 48 – 72 jam kemudian oleh orang yang berpengalaman. Interpretasi tergantung tidak saja dari tipe reaksi setelah tes, namun juga pada tingkat risiko anak terkena TBC. Anak yang berusia di atas 4 tahun dan tanpa faktor risiko mungkin mengalami sedikit reaksi (pembengkakan sebesar 5 – 14 mm) dan tidak terinfeksi TBC. Sedangkan anak yang memiliki kontak yang dekat dengan penderita TBC akan dianggap terinfeksi walaupun mengalami reaksi yang sangat kecil (lebih besar atau sama dengan pembengkakan 5 mm). Anak yang telah menerima imunisasi BCG juga dapat diuji Mantoux. Bahkan pada anak yang memiliki masalah pada sistem kekebalan tubuhnya akan memperoleh hasil negatif uji tuberkulin pada kulitnya, padahal kemungkinan terinfeksi TBC.

Pada anak yang usianya lebih dewasa, TBC paru primer (infeksi pertama dengan bakteri TBC) biasanya tidak menimbulkan tanda atau gejala, dan hasil foto rontgen dada tidak terlihat adanya tanda infeksi. Sangat jarang terjadi pembengkakan kelenjar limfe dan kemungkinan sedikit batuk.

Infeksi primer ini biasanya sembuh dengan sendirinya karena anak telah membentuk kekebalan tubuh selama periode waktu 6 hingga 10 minggu. Namun pada beberapa kasus, jika tidak ditangani dengan benar (biasanya antara 6 bulan hingga 2 tahun), infeksi ini dapat berkembang menjadi penyakit dan menyebar ke seluruh paru-paru (disebut TBC progresif) atau ke organ tubuh lainnya. Hal ini ditandai dengan demam, kehilangan berat badan, kelelahan, kehilangan selera makan, kesulitan bernafas, dan batuk.

Tipe infeksi lainnya disebut TBC reaktivasi. Dalam hal ini infeksi primer sudah teratasi, namun bakteri TBC masih dalam keadaan tidur atau hibernasi. Ketika kondisi memungkinkan (misalnya kekebalan tubuh menurun), bakteri menjadi aktif. TBC pada anak yang lebih tua dan orang dewasa mungkin saja termasuk tipe ini. Gejala yang paling jelas adalah demam terus-menerus, diiringi dengan keringat pada malam hari. Kelelahan dan kehilangan berat badan juga mungkin terjadi. Jika penyakit bertambah parah dan terbentuk lubang-lubang pada paru-paru, penderita TBC akan mengalami batuk dan mungkin terdapat darah pada produksi air liur, dahak, atau phlegm.

Kebanyakan anak yang menderita TBC tidak menunjukkan gejala apapun. Mereka dikatakan mengalami infeksi TBC jika memiliki hasil PPD yang positif, walaupun hasil foto rontgen-nya normal dan tidak memiliki tanda atau gejala TBC.

Sebagai tambahan dari tes tuberkulin pada kulit, anak yang mengidap TBC juga harus menjalani tes tambahan dengan mengkultur bakteri TBC. Dengan demikian kita bisa menentukan bakteri yang dikultur sensitif terhadap jenis obat apa. Karena TBC adalah bakteri yang lambat pertumbuhannya, kultur ini bisa mencapai 10 minggu untuk memperoleh hasilnya. Untuk melakukan kultur, kita perlu memperoleh hasil dari pernapasan gastric di pagi hari jika anak tidak dapat menghasilkan batuk untuk sampel sputum. Anak yang mengidap TBC juga perlu dites HIV.

TBC pada paru-paru menyebabkan pembentukan luka, pembengkakan pleural dan pembesaran kelenjar limfe. Hal-hal ini biasanya dapat terlihat pada hasil foto rontgen. Selain gejala pada paru yang disebutkan di atas, penyakit TBC juga dapat menyebabkan meningitis dan infeksi pada telinga, ginjal, tulang, dan persendian.
Pencegahan

Pencegahan TB tergantung pada:

1. Menghindari kontak dengan penderita aktif TBC
2. Menggunakan obat-obatan sebagai langkah pencegahan pada kasus berisiko tinggi
3. Menjaga standar hidup yang baik

Kasus baru dan pasien yang berpotensi tertular diidentifikasi melalui penggunaan dan interpretasi tes kulit tuberkulin yang tepat.

Imunisasi BCG (Bacille Calmette – Guérin) dipandang kontroversial karena tidak terlalu efektif diberikan di negara yang tingkat kejadian TBC rendah. Untuk alasan inilah BCG umumnya tidak diberikan di Amerika Serikat. Namun sebaiknya diberikan ke anak yang berpindah ke negara dimana TBC banyak terjadi.
Penularan

TBC memang menular ketika bakterinya berada di udara dan dihirup oleh orang lain.
Secara umum, penyakit ini tidak dianggap menular pada anak-anak, yang biasanya terinfeksi dari pasien orang dewasa. Masa inkubasi (waktu yang diperlukan untuk seseorang menjadi terinfeksi setelah tertular) bervariasi antara mingguan hingga tahunan, tergantung dari orang itu sendiri dan jenis infeksinya, apakah primer, progresif, atau reaktivasi.

Pengobatan

Dokter biasanya menganjurkan rawat inap untuk evaluasi awal dan pengobatan TBC, terutama jika:

1. Penderita adalah anak kecil
2. Adanya reaksi obat yang parah
3. Adanya penyakit lain selain TB

Walaupun demikian, kebanyakan anak kecil yang menderita TBC dapat melakukan rawat jalan dan pengobatan di rumah. Pengobatan TBC biasanya berupa pengobatan oral. Pada beberapa kasus, ada tiga atau empat jenis obat yang diresepkan.

Sangat penting diingat bahwa rangkaian pengobatan harus dijalani dengan lengkap agar TBC dapat disembuhkan, meskipun membutuhkan waktu beberapa bulan. Obat yang digunakan merupakan kombinasi antibiotik, tergantung dari resistensi bakteri terhadap obat uang umum digunakan. Pengobatan ini harus dikoordinasikan dengan departemen kesehatan setempat dan/atau ahli penyakit menular pada anak.

Orang yang memiliki hasil PPD positif sebaiknya membutuhkan pengobatan, biasanya berupa isoniazid (INH) selama 9 bulan. Jika infeksi TBC yang diderita ternyata resisten terhadap isoniazid, maka dibutuhkan rifampin selama 6 bulan. Obat lain yang biasa digunakan adalah pyrazinamide. Etambutol atau streptomycin dapat digunakan untuk bakteri TBC yang resisten pada beberapa obat. Pengobatan untuk penyakit TBC kompleks (baik meningitis maupun infeksi pada tulang atau persendian) biasanya berlangsung selama 9 – 12 bulan dengan menggunakan 3 hingga 4 jenis obat.

Kebanyakan penderita TBC harus mengitu Terapi Observasi Langsung (directly observed therapy, DOT), dimana pengobatan diawasi oleh pekerja kesehatan, baik secara langsung maupun menggunakan video.

Orang dewasa penderita TBC sangatlah menular setidaknya selama beberapa minggu setelah memulai pengobatan yang benar. Anak-anak penderita TBC tidak terlalu menular karena mereka umumnya memiliki lesi yang keciil pada paru-paru dan jarang batuk.

Semua kasus infeksi dan penyakit TBC harus dilaporkan ke departemen kesehatan lokal di sekeliling Anda.
Durasi

TBC adalah penyakit kronis yang dapat berlangsung bertahun-tahun jika tidak diobati.
Kapan Menghubungi DSA Anda

Hubungi dokter jika anak Anda:

1. Berhubungan langsung dengan orang yang sedang (atau dicurigai) mengidap TBC
2. Mengalami demam terus-menerus
3. Berkeringat di malam hari
4. Mengalami batuk terus-menerus yang tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan batuk yang standar

Sumber
Tuberculosis, http://www.keepkidshealthy.com/welcome/infectionsguide/tuberculosis.html
Tuberculosis, http://www.kidshealth.org/parent/infections/lung/tuberculosis.htm